WartaBerita.Net | JAKARTA — Wacana cawapres non parpol untuk melengkapi capres dari parpol Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) semakin kencang.
Syarat calon presiden (capres ) Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah kader dari partai politik (parpol). Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suharso Monoarfa.
Diketahui, KIB merupakan koalisi yang diprakarsai oleh tiga parpol, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan PPP.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti SMRC Sirojuddin Abas menilai wajar apabila Golkar menyodorkan nama Airlangga Hartarto sebagai capres. Terlebih ini sudah diputuskan dalam forum resmi Golkar yakni dalam Rakernas dan Munas.
Menurut Sirajuddin, saat ini kesempatan emas untuk Airlangga untuk bekerja lebih baik. Tujuannya, supaya lebih dikenal dan disukai pemilih. “Itulah dua syarat utama agar dia bisa meningkatkan elektabilitasnya,” ujar Sirojuddin, Jumat (22/7/2022).
Cawapres Non Parpol Untuk Dongkrak Elektabilitas
Dia melanjutkan sedangkan untuk pemilihan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sangat penting, guna membantu mendongkrak elektabilitas Airlangga nantinya.
Menurutnya, ada beberapa nama potensial yang sudah beredar. Misalnya kata dia, nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Jika dipasangkan dengan Airlangga, mereka punya kontribusi yang berbeda. Tergantung pula apakah Airlangga ditempatkan di nomor 1 atau 2,” kata Sirojuddin.
Dia menekankan simulasi pasangan capres/cawapres tidak hanya ditentukan oleh kualitas pasangan. Tetapi juga oleh sejumlah faktor lain, misalnya konteks makro-politik, ekonomi, dan keamanan nasional.
“Juga faktor siapa pasangan yang akan dihadapinya. Sebab, setiap tokoh biasanya memiliki kekuatan basis dukungan yang khas,” ucapnya.
Jika ingin menghindari risiko politik identitas, lanjut dia, maka sebaiknya lihat juga rekam jejak calonnya. “Tetapi itu tidak cukup. Yang lebih penting adalah komitmen kuat dari elite-elite pimpinan partainya untuk tidak menggunakan isu SARA untuk memenangkan kompetisi politik.”
“Jika pimpinan partai tidak punya komitmen kuat untuk menghindari itu, calon tidak akan bisa menahan dorongan pengusungnya untuk menggunakan taktik politik berbasis SARA tersebut,” tutupnya. [WB]
(sumber: sindonews.com)