Menurunnya kepercayaan terhadap institusi negara berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan publik pada ketentuan hukum dan undang-undang (UU). Maka, demi terjaganya ketertiban umum, setiap pimpinan institusi negara hendaknya peduli dan konsisten merawat kepercayaan masyarakat.
Oleh: Bambang Soesatyo*
WartaBerita.Net | JAKARTA — Aspek kepercayaan publik kepada sejumlah institusi negara sedang menghadapi tantangan serius akibat terungkapnya kasus-kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang dilakukan oknum aparatur negara. Menurunnya kepercayaan terhadap institusi negara berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan publik pada ketentuan hukum dan undang-undang (UU). Maka, demi terjaganya ketertiban umum, setiap pimpinan institusi negara hendaknya peduli dan konsisten merawat kepercayaan masyarakat.
Sebelum tercorengnya citra institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akibat kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, publik juga sudah dibuat kecewa dengan terungkapnya kasus mafia tanah pada institusi Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kasus-kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan oknum aparatur negara pada sejumlah institusi negara mau tak mau memengaruhi sikap atau aspek kepercayaan masyarakat terhadap institusi bersangkutan. Apalagi jika perbuatan tercela itu dilakukan sekelompok oknum pada institusi negara yang berfungsi menegakan hukum bagi terwujudnya ketertiban umum. Semua pihak pasti gelisah jika publik tidak lagi memercayai institusi penegak hukum.
Berkait dengan persepsi publik terhadap institusi Polri misalnya, survei oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri menurun tajam pada Agustus 2022, dibandingkan Mei 2022.
Hasil survei Litbang Kompas pada 19-21 Juli 2022 menunjukkan bahwa Persepsi publik yang negatif ini terbentuk setelah terungkapnya berbagai kasus pelanggaran etika oleh pejabat institusi tersebut.
Persepsi publik tentang BPN juga menjadi semakin negatif setelah Menteri Hadi Tjahjanto membongkar sepak terjang mafia tanah. Sebagai isu, mafia tanah di BPN sudah lama menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Pergunjingan yang negatif itu menjadi indikator menurunnya kepercayaan masyarakat. Pada bulan April Tahun 2021 misalnya, Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN bahkan mengumumkan bahwa tak kurang dari 125 pegawai yang terbukti terlibat praktik mafia tanah telah ditindak tegas.
Memang, dalam konteks ini, tak terelakan bahwa perhatian atau sorotan masyarakat saat ini lebih tertuju pada institusi Polri. Bisa dimaklumi karena Polri masih memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Publik sangat antusias mengawal rangkaian proses penyelidikan hingga pemeriksaan para tersangka.
Antusiasme publik mengawal kasus pembunuhan itu ternyata menjadi momentum untuk mengungkap kondisi riel internal Polri. Bocoran informasi dari internal Polri pun terus mengalir ke ruang publik. Gambaran riel terkini tentang internal Polri sudah diungkap Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD.
Gambaran itu memberi penjelasan kepada publik tentang kerusakan hierarki pada institusi Polri, karena adanya Sub-Mabes Polri yang sangat berkuasa. Dan, kekuasaan yang digenggam sub-Mabes Polri itu digunakan untuk kegiatan melanggar hukum.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyadari betul bahwa citra institusi Polri saat ini benar-benar sedang berada di titik terendah. Kapolri menempatkan proses penyelesaian kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J — dan semua dampak ikutannya — sebagai pertaruhan marwah institusi yang dipimpinnya.
Kecewa, sedih dan prihatin tak hanya menyergap Kapolri serta jajaran pimpinan institusi Polri lainnya. Sebagian besar masyarakat pun sedih dan prihatin, karena Polri sebagai garda terdepan yang menjaga dan merawat ketertiban umum harus menghadapi masa-masa paling sulit saat ini.
Namun, berlarut-larutnya kecewa, sedih dan prihatin tidak akan menyelesaikan masalah. Di hadapan segenap elemen masyarakat, Polri dan BPN harus realistis; yakni, sedang menghadapi fakta tentang merosotnya kepercayaan publik. Maka, sambil menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran etika dan tindak pidana yang melibatkan oknum pada dua institusi itu, jajaran pimpinan Polri dan BPN pun hendaknya mulai menyiapkan program kerja pemulihan citra.
Selain program kerja pemulihan citra, pimpinan institusi pun hendaknya berani memulihkan fungsi-fungsi dan wewenang yang melekat pada hierarki institusi. Bukan cerita baru kalau hierarki pada sejumlah institusi negara mengalami kerusakan karena adanya ‘raja kecil’, ‘menteri bayangan’ hingga ‘gubernur bayangan’ dan ‘ketua bayangan’.
Pada era yang serba transparan sekarang ini, hierarki institusi hendaknya tidak lagi memberi ruang dan toleransi sekecil apa pun bagi kelompok internal yang ingin membangun kekuatan atau mengkudeta wewenang pimpinan institusi. Penyerahan dan distribusi wewenang pada hierarki institusi harus diterima, dipatuhi dan dijalankan tanpa syarat apa pun.
Citra positif institusi, utamanya institusi penegak hukum, harus terjaga. Kredibilitas institusi harus terus dipupuk, karena citra yang positif menjadi faktor pendorong kepatuhan semua elemen masyarakat pada ketentuan hukum dan UU yang mengatur ketertiban umum.
Sebaliknya, jika publik terus menerus dijejali informasi tentang perilaku tak terpuji oknum penegak hukum, kecenderungan ini sangat berbahaya. Citra negara-bangsa dan ketertiban umum menjadi taruhannya. Jangan sampai muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berasumsi ‘boleh melanggar hukum, karena aparat penegak hukum juga melanggar hukum’. [WB]
* Penulis adalah Ketua MPR RI, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Dosen Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (PHISIP) Universitas Terbuka, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar