Oleh: Ilham Bintang*
WartaBerita.Net | JAKARTA — Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem) Surya Paloh mengumumkan sendiri tiga bakal calon presiden Partai Nasdem untuk berlaga pada Pemilu 2024, Jumat malam (17/6/2022) lalu.
Ketiganya, adalah Gubernur DKI, Anies Baswedan; Panglima TNI, Jendral Andika Perkasa; dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Penetapan tiga tokoh itu merupakan hasil pertimbangan steering committee (SC) Rakernas Partai NasDem yang digelar 15-17 Juni 2022 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
“Rakernas Nasdem memutuskan, menetapkan, dan merekomendasikan satu dari tiga nama bakal calon presiden yang akan diusung Nasdem pada Pemilu Presiden 2024. Tiga nama itu pilihan Rakernas,” tegas Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh pada penutupan Rakernas Nasdem di JCC Senayan, Jumat (17/6).
“Saya ingatkan tidak ada yang kurang atau lebih satu sama lain dari tiga nama itu. Ketiganya setara di mata saya sebagai Ketum. Urutan boleh 1, 2, 3 tapi kualifikasinya sama,” sambungnya. Pada saat yang tepat, lanjut Paloh, ia akan memilih satu dari tiga nama. Dan, putusan itu sudah pasti hasil pertimbangan matang.
Oksigen
Rakernas Partai Nasdem yang berlangsung tiga hari di Jakarta menyita perhatian masyarakat luas. Rakernas itu seperti memberi kembali harapan kepada rakyat Indonesia di tengah kebingungan menghadapi akrobatik politik di Tanah Air.
Putusan Rakernas Nasdem menjadi semacam oase atau mungkin juga oksigen untuk masyarakat yang tengah sesak napas dan frustrasi setelah melihat hasil reshuffle kabinet yang diumumkan dua hari sebelumnya.
Surya Paloh bukan politisi jadi-jadian seperti yang banyak lahir di era Presiden Jokowi.
Paloh sudah terjun ke dunia politik sejak masih usia belia. Puluhan tahun ia berkiprah di Golkar. Jauh sebelum mesin politik rezim Orde Baru itu menjadi Partai Golkar.
Saat ini dari seluruh elite parpol, Paloh paling senior. Dari segi umur maupun dari segi kematangan. Sudah sangat kenyang makan asam garam politik. Dia tahu betul dunia politik sarat praktik “hajab sirajab bin mustajab”, itu istilah Paloh sendiri yang dulu sering dia gunakan.
Teletubbies
Saya mengenal Surya Paloh cukup lama. Hanya “casingnya” yang kelihatan beringas. Hanya geram suaranya yang menyeramkan. Watak aslinya cukup elastis santun, termasuk dalam berpolitik. Masih di usia muda Paloh sudah duduk di parlemen. Tapi posisi itu tak membuat pencarian nilai-nilai ideal berbangsa dan bernegara berhenti.
Paloh membangun industri pers untuk memberdayakan pilar keempat demokrasi.
Surat Kabar pertamanya, “Prioritas” yang disebutnya sebagai media perlawanan, bahkan turut menjadi korban keganasan rezim Orde Baru.
Media itu diberedel ketika masih seumur jagung. Kejadian itu membuatnya semakin matang. Paloh tidak mutung. Dia bangkit lagi membangun industri media, menerbitkan “Harian Media Indonesia” dan mendirikan “Metro TV”, televisi berita pertama di Indonesia.
Setelah itu dia mendirikan Partai Nasdem pada tahun 2011. Pemilu 2024 nanti merupakan pesta demokrasi ketiga kali diikuti Nasdem. Dan, terbukti benar: dia tidak menjadikan Nasdem sebagai tumpangan pribadinya untuk meraih kursi di pucuk kekuasaan.
Kurang apa? Paloh Ketua Umum, dia pendiri dan pemilik Partai Nasdem. Dengan latar belakang itulah sikap politik putra Aceh kelahiran Medan ini selalu menarik diikuti.
Paloh tidak menggunakan Partai Nasdem untuk menyalurkan syahwat kekuasaan politiknya. Itu yang membedakan dia dengan kebanyakan elit politik dan pimpinan parpol di Tanah Air yang tampak berlaku baru sebatas politikus dan bukan negarawan.
Lihat saja betapa kacaunya iklim pilitik yang diciptakan para pilitikus itu satu dasawarsa ini. Berebutan mengincar jabatan ketua umum Parpol untuk tunggangan meraih kekuasaan. Kalau perlu dengan lewat cara yang mengerikan.
Kompetisi dijadikan gelanggang untuk saling mengenyahkan, saling “membunuh”. Memang ada juga laku politikus yang bikin kita geli. Paling menggelikan ketika tiga pimpinan partai mengumumkan pembentukan koalisi baru. Yang foto-foto elitenya mirip “teletubbies”, viral.
Bagaimana koalisi itu bisa meyakinkan rakyat, sementara kita tahu watak mereka serupa Indian yang terkenal dengan ungkapan “All Indian, Chief”. Alias, semua Indian adalah Kepala Suku. Masih segar dalam ingatan, bukankah ada jejak digital mereka secara sendiri-sendiri yang menginginkan duduk di kursi presiden.
Situasi politik semakin chaos manakala pejabat yang berstatus pembantu atau pesuruh presiden pun ikut meramaikan bursa presiden. Mereka memanfaatkan jabatan dan fasilitas negara untuk merintis jalan menuju Istana. Secara terselubung maupun terang-terangan. Kita tidak tahu, entah apa yang merasuki pikiran mereka.
Paloh Pernah Gagal
Paloh bukan tidak pernah tergiur jabatan presiden. Tahun 2004, semasa masih di Golkar, Paloh menginisiasi dan ikut Konvensi Partai Golkar untuk memilih bakal calon presiden. Waktu itu saya mewawancarainya secara khusus dan menuliskan jalan pikirannya yang “out of the box”.
Maksudnya, ingin mengubah stigma Golkar dari partai “tertutup” menjadi partai modern. Yang membuka pencalonan sosok pemimpin bangsa di luar Partai Golkar.
Paloh kalah dalam Konvensi Golkar 2004 itu. Tapi, itu tak membuatnya jera memperjuangkan perlunya menemukan sosok negarawan untuk memimpin negara.
Karena sulit mengubah watak Golkar lama yang sudah berkarat, Paloh pun meninggalkan partai itu. Tahun 2011 ia mendirikan Partai Nasdem. Lewat Nasdem, Paloh leluasa memperjuangkan ide yang out of the box itu.
Dia pun menemukan hal yang diidamkannya sejak dulu: ternyata ada pada diri Anies Baswedan, Andhika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Kebetulan dua dari tiga nama yang itu klop dengan aspirasi luas rakyat Indonesia. Nama-nama itu sejak dua tahun lalu sudah bertengger di papan atas, sudah diuji berkali-kali oleh pelbagai lembaga survei.
Pemilu memang masih lama, dua tahun lagi. Tapi marketing Rakernas Nasdem luar biasa. Mempercepat masyarakat memberi perhatian pada pesta demokrasi sekali lima tahun itu.
Menempatkan Paloh sebagai seorang enterpreuner kampiun. Ibarat produser film, Paloh jauh-jauh hari sudah “membooking” artis papan atas untuk membintangi film produksi terbarunya.
Dalam dunia film dunia maupun Indonesia, produser film yang punya kontrak eksklusif dengan artis papan atas, sama dengan sudah mengantongi seluruh hasil penjualan karcis bioskop sebelum syuting mulai.
Sang produser akan menjadi kiblat seluruh penyalur film bioskop dunia serta distributor penayangan untuk media televisi. Posisi kiblat akan membuat seluruh biaya produksi film akan mengalir dari para distributor. Bukankah posisi Anies dan Ganjar adalah aktor superstar dalam politik kita?
Dari segi ideologinya pun Paloh terasa lebih cerdas. Melalui Rakernas, Paloh dan Nasdem berhasil melekatkan kembali seluruh isi konstitusi di kepala seluruh rakyat Indonesia bahwa pada Pemilu 2024 nanti adalah momen penggantian presiden. Titik.
Saya kira itu misi murni Paloh. Dengan itu sekaligus dia menghalau dan mengusir para petualang politik yang seenaknya mau mengubah konstitusi demi melanggengkan kekuasaan koalisinya. Yang tanpa malu masih terus saja berupaya memperjuangkan jabatan presiden boleh lebih dua priode.
Saya kira buat Paloh tidak menjadi soal apakah nanti tokoh yang diusungnya bisa jadi presiden atau tidak. Seperti yang dikatakannya sendiri waktu menutup Rakernas Nasdem malam itu.
“Seandainya pun calon yang kita dukung terpilih, kemudian lupa pada Nasdem, itu sudah nasib kita,” kata dia.
Yang penting bagi Paloh pempimpin bangsa yang terpilih menghuni Istana nanti adalah pemimpin bangsa kelas negarawan. Lahir dari proses komitmen seluruh bangsa dan kepatuhan pada konstitusi.
Saya kira semua wartawan pun atau pers nasional yang merupakan penjaga pilar keempat demokrasi niscaya ikut terpanggil mengawal pesan Surya Paloh itu.
Pangandaran 18 Juni 2022.
————
* Penulis adalah Wartawan Senior