WartaBerita.Net | JENEWA — Muslim Uyghur mendapat pembelaan. China ditengarai telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Xinjiang, demikian hal tersebut terungkap dalam laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terbaru. Disebutkan laporan PBB terkait hal tersebut telah lama dinantikan oleh berbagai pihak.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengungkapkan hal tersebut. “Penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif China terhadap Uyghur dan Muslim lainnya di wilayah Xinjiang mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian ujar Michelle Bachelet pada Rabu (1/9/2022).
Sebagaimana dikutip dari Reuters, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia telah menghadapi kritik dari beberapa diplomat dan kelompok hak asasi karena terlalu lunak terhadap China.
Sebagai informasi, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengunjungi China pada bulan Mei 2022 lalu.
Pelanggaran HAM China Terhadap Muslim Uyghur
Dalam laporan setebal 48 halaman itu disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang serius telah dilakukan di Xinjiang. Laporan itu menyebutkan bahwa pelanggaran HAM itu dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme oleh pemerintah China.
“Tingkat penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap anggota Uyghur dan kelompok mayoritas Muslim lainnya … dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian bunyi laporan PBB tersebut.
China Didesak Segera Bebaskan Semua Tahanan Muslim Uyghur
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet merekomendasikan pemerintah China untuk mengambil langkah segera untuk membebaskan semua yang ditahan di pusat pelatihan, penjara atau fasilitas penahanan.
Salah satu pelanggaran yang nyata yaitu adanya terkait reproduksi lewat pemaksaan program keluarga berencana bagi para muslim Uyghur. “Ada indikasi pelanggaran hak reproduksi yang kredibel melalui pemaksaan kebijakan KB sejak 2017,” jelas laporan tersebut.
Michelle Bachelet menambahkan bahwa kurangnya data pemerintah membuat sulit untuk menarik kesimpulan tentang sepenuhnya penegakan kebijakan ini dan pelanggaran terkait hak-hak reproduksi itu.
Sebagai informasi, Kelompok hak asasi manusia menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap Uyghur, minoritas etnis mayoritas Muslim yang berjumlah sekitar 10 juta di wilayah barat Xinjiang, termasuk penggunaan massal kerja paksa di kamp-kamp interniran. Amerika Serikat menuduh China melakukan genosida.
China Membantah Keras Tuduhan PBB
Perwakilan China di Jenewa menggambarkan laporan itu sebagai “lelucon” yang direncanakan oleh Amerika Serikat, negara-negara Barat dan pasukan anti-China berdasarkan informasi palsu dan asumsi bersalah.
Berbicara menjelang rilis laporan tersebut, duta besar China untuk PBB di New York, Zhang Jun, mengatakan Beijing telah berulang kali menyuarakan penentangan terhadapnya. Dia mengatakan kepala hak asasi manusia PBB seharusnya tidak ikut campur dalam urusan internal China.
“Kita semua tahu, dengan sangat baik, bahwa apa yang disebut masalah Xinjiang adalah kebohongan yang sepenuhnya dibuat-buat dari motivasi politik dan tujuannya jelas adalah untuk merusak stabilitas Tiongkok dan untuk menghalangi pembangunan Tiongkok,” kata Zhang kepada wartawan pada Rabu (31/8/2022).
“Kami tidak berpikir itu akan menghasilkan kebaikan bagi siapa pun, itu hanya merusak kerja sama antara PBB dan negara anggota,” katanya.
Beri Tekanan ke China
Dilxat Raxit dari Kongres Uyghur Dunia, sebuah kelompok yang berbasis di luar negeri, mengatakan laporan itu mengkonfirmasi laporan tersebut sebagai bukti kuat kekejaman terhadap Uyghur. Tetapi dia berharap ada langkah lebih jauh untuk menekan China.
“Saya menyesal bahwa Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB tidak menggolongkan kekejaman ekstrem di China ini sebagai genosida,” katanya kepada Reuters melalui email.
Pihak Human Rights Watch menggambarkan laporan itu sebagai terobosan.
“Korban dan keluarga mereka yang telah lama difitnah oleh pemerintah China akhirnya melihat penganiayaan mereka diakui, dan sekarang dapat meminta PBB dan negara-negara anggotanya untuk mengambil tindakan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab,” kata John Fisher, Wakil Direktur Advokasi Global Human Right Watch. [WB]